Oleh : Munawir Syahidi – Deklarator KUMAUNG
Semua orang yang baru lulus SLTA tadinya menganggap bahwa kuliah adalah kemewahan, berada di perguruan tinggi adalah kebanggaan. Memang seharusnya begitu.
Dulu, anggaplah tahun 2008 kebawah kuliah adalah hal yang memang sangat mewah, memakai kata sangat untuk menunjukan bahwa memang kuliah itu mewah, apalagi untuk yang orang tuanya tidak memiliki penghasilan tetap seperti petani dan nelayan, petani yang bukan tuan tanah dan nelayan yang tidak memilki perahu. Tahun 2008 saat saya pertama kali kuliah bahkan kampus saja tidak tahu dimana, dan tidak meributkan jurusan apa, dan tidak ada akses beasiswa.
Coba bandingkan sekarang? Lulus SLTA sudah riweuh ngurusin kuliah jurusan apa, kampusnya terkenal atau tidak, beasiswanya gede atau tidak, dan lain-lain ya dan lain lain. Lucu memang calon mahasiswa sekarang ini, pernah membaca fatwa Imam Al-Gozali tentang tujuan mencari ilmu?. Coba cari. Walaupun hidup memang perlu direncanakan.
Dalam satu kesempatan diskusi, saya sering menemukan jika sebenarnya kita tidak benar-bebar mengerti hakikat utama menjadi mahasiswa, misal dulu mahasiwa disebut sebagai agent of change, Si Pembawa Perubahan. Ya masa-masa yang lewat dalam sejarah Indonesia misalnya, kita mengenal bagaimana para mahasiswa yang berada di Belanda menyatukan diri dalam organisasi, mengasah pikiran kritis tentang usaha-usaha perubahan yang berdampak baik bagi masyarakatnya, termasuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Baca juga sejarah penumbangan orde lama versinya soe hok gie, misal membaca buku catatan seorang demonstran, atau kumpulan puisi taufiq ismail dalam buku tirani dan benteng.
Lihat juga bagaimana tumbangnya orde baru yang memasuki fase reformasi, atau yang juga disebut orde paling baru, yang tentu sekarang kita dan gerakan mahasiwa ada di dalamnya.
Baiklah, dari sekian cita-cita kuliah hari ini adalah lulus dan tentu mendapat pekerjaan, itu sah-sah saja dan realistis, tetapi kebermanfaatan setiap manusia harus diasah, dan terus diasah. Salah satu yang menyebabkan lahirnya kebermanfaatan adalah berpikir kritis, meningjatkan empati terhadap setiap ketidak adilan.
Okeh, kalaulah sekarang masanya berbeda, lantas dimana peran mahasiwa dan sarjana yang sudah pulang ke kampung? Atau mungkin isi lagu krisis pemuda makin menjadi jadi sekarang ini?
Maka berpikir kritis berfungsi bukan hanya dalam mencari-cari kesalahan dipihak lain, tetapi juga berpikir kritis yang merupakan buah dari pengalaman membaca baik qauliyah ataupun qauniyah yang sebetulnya kecakapan membaca keduanya ini hanya didapatkan oleh mereka yang benar-benar berorganisasi, yang kaffah dalam berorganisasi.
Sehingga ketika mahasiswa yang menjadi sarjana ini pulang, mereka dapat membaca peluang, mengeksekusi, dengan melakukan metode-metode dasar manajemen yang dipelajari dan dipraktikan ketika berorganisasi, merencanakan, mengorganisir, mengeksekusi, mengontrol dan mengevaluasi. Setidaknya punya gagasan, jika kuliah lama-lama berkutat dengan buku-buku dan suka nyinyir pada mereka yang berorganisasi kemudian pulang dan merasa tidak dapat membaca peluang, dan menciptakan gagasan, apalagi mengeksekusinya maka tidak bergunalah buku buku dan teori di kelas itu.
Mahasiswa yang menjadi sarjana dan kemudian pulang setidaknya harus dapat membaca peluang. Peluang ini minimalnya dapat menolong dirinya untuk sekadar membeli kopi, syukur-syukur dapat membeli hati calon mertua.
Tetapi yakinlah, setiap yang dirinya selalu ditempa dan dibiasakan berorganisasi, benar-benar berorganisasi, bukan hanya ikut berorganisasi, maka pasti menemukan jalannya. Percayalah.
Tapi harus ingat juga, ini hanya sebuah tulisan, hanya pemikiran, realitanya tentu lebih rumit. Karena ada juga mahasiswa yang pulang tanpa meraih gelar kesarjanaan justru dan tetap memiliki kebermanfaatan untuk lingkungan dan masyarakat, karena ada proses-proses belajar yang tidak dialami oleh mahasiswa yang hanya ada di dalam kelas dan mengejar-ngejar nilai. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya.