Ada sebuah kalimat yang fenomenal di kalangan praktisi tasawuf islam yang terus menerus mengganggu pikiranku, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” yang memiliki arti “Barangsiapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.” Bukan firman Tuhan ataupun hadis nabi, hanya perkataan salah seorang ulama sufi terkenal bernama Yahya bin Muadz Ar-Razi. Beberapa pertanyaan sederhana yang terpantik oleh kalimat itu adalah apakah aku sudah mengenal diriku? apa itu mengenal? apa itu diri? jika jalan untuk mengenal Tuhan adalah dengan mengenal diri berarti aku belum mengenal Tuhan karena belum mengenal diri? berbagai pertanyaan terus aku ajukan kepada diri sendiri, kepada teman dekat, kepada tokoh agama dan kepada dosen pada saat kuliah daring.
Kenapa aku bersikeras menanyakan hal itu? alasan sederhananya adalah jika kita meyakini bahwa diri ini berasal dari Tuhan dan akan kembali pada Tuhan, apakah kita sudah kenal Tuhan? apakah diri yang berasal dari Tuhan ini sudah kita kenal? berdasarkan hasil bacaan dari berbagai literatur yang terus menerus kupertanyakan kembali, aku memperoleh sebuah rumus untuk mengenal diri sendiri yang sangat mungkin hal ini ‘bukan kebenaran absolut’: bahwa mengenal diri sendiri adalah memahami secara mendalam segala yang melekat pada diri kita baik identitas maupun personalitas, dengan mendetailkan diri kita untuk apa kita lahir, apa percakapan kita dengan Tuhan sebelum lahir dan seterusnya sampai pada tingkat mengenal kecenderungan kita terhadap sesuatu hal dan menikmati disiplin ilmunya. Jadi, sederhananya bahwa mengenal diri sendiri adalah mengenal apa yang Tuhan nasibkan untuk kita jalani. Misalnya, kita ditugaskan untuk menjadi ahli politik agar bisa menyejahterakan rakyat kecil, atau ditugaskan untuk menjadi ahli ekonomi untuk memberantas kemiskinan, atau ditugaskan untuk menjadi seniman yang senantiasa mengeluarkan aura keindahan, dan beragam kecenderungan lain.
Lalu setelah itu kita juga perlu bertanya, apakah orientasi hidup kita sudah ditujukan kepada Tuhan? setiap hari kita berjanji kepada Tuhan saat permulaan salat, “inna sholatii wanusukii wamahyaaya wamamaatii lillahirabbil’alamiin” bahwa “sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan seluruh alam.” Tapi apakah kita sudah menepati janji itu? atau justru setiap apa yang kita ucapkan tidak pernah kita sadari maknanya sama sekali? kita dengan lumrah mengatakan sesuatu sedangkan kita tidak mengerti apa yang kita katakan, kita dengan lumrah melakukan sesuatu sedangkan kita tidak paham apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan juklak dan juknis fastabiqul khairat dan anfauhum linnas?.
Jika tujuan hidup kita di dunia ini adalah untuk mengabdi pada Tuhan (QS. Az-Zariyat : 56), maka di ranah mana kita harus mengabdi? ranah politik, ekonomi, budaya, teknologi atau bahkan semua ranah? atau justru kita tidak memikirkan hal itu? kita justru cenderung untuk menjadi orang lain, ingin banyak uang untuk berfoya-foya, ingin punya jabatan agar berkuasa dan ingin-ingin yang lain sehingga terus-menerus menciptakan sendiri berhala-berhala baru, melakukan disiplin penyembahan terhadap berhala baru itu yang kemudian sangat tidak mungkin untuk menjadikan hidup kita mulia. Mari kita terjun ke beberapa fakta yang terjadi di Indonesia.
Hasil penelitian dari Indonesia Career Center Network (ICCN) menunjukkan bahwa sebanyak 87% mahasiswa di Indonesia mengakui jurusan yang diambil tidak sesuai dengan minatnya, angka yang fantastis dan menggelikan. Ya, mungkin bangsa hewan akan tertawa sejadi-jadinya jika mereka mendengar berita ini, salah satu dari mereka mungkin akan berkata “Katanya manusia lebih mulia dari hewan, tapi kok ke diri sendiri aja gak kenal, kita aja bangsa hewan selalu bekerja sesuai perintah Tuhan kok, meski lalat suka makan tai dan lebah suka makan nektar tapi toh lalat tak pernah mendeklarasikan diri ingin jadi lebah misalnya agar makanan terlihat terhormat, begitupun sebaliknya. Ya karena keduanya sama-sama memiliki peran penting dalam kehidupan. Lah ini manusia? xixixi (menahan tawa dengan geli) ingin jadi orang lain, ingin punya banyak uang dan berfoya-foya, ingin punya jabatan, bahkan… ingin jadi Tuhan! wuuuh ngeriii!.”
Aku sendiri sering berjumpa dengan orang-orang yang menyatakan dirinya salah jurusan, atau anda yang membaca ini juga merasa salah jurusan? mengapa demikian? alasannya banyak, tapi intinya, karena orang yang merasa salah jurusan itu belum mengenal dirinya sendiri, belum mendownload dan menginstall ketentuan Tuhan tentang dirinya dari mega server yang kita menyebutnya Lauhul Mahfudz. Dan kalaupun kita sudah menemukan apa yang kita sukai berdasarkan apa yang Tuhan ridhai untuk kita jalani, kita berusaha dialihkan dari apa yang kita ingin jalani dalam hidup ini oleh sistem yang berlaku di negara kita ini, sistem pendidikan nasional kita tidak mengorientasikan muridnya (kita) untuk menemukan fadhilah yang diberikan Tuhan kepada kita. Sekolah hanya menjadi tempat training pekerja industri, lalu kita kalangkabutan mencari diri kita sendiri. Apa yang kita pelajari di sekolah sama sekali tidak ada gunanya ketika kita hadapkan dengan masalah hidup. Sebagaimana W.S. Rendra dalam puisinya berjudul “Sajak sebatang lisong”: “papan tulis – papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.” atau Cak Nun dalam puisinya yang berjudul “Lautan jilbab”: “mesin pembodoh kami sangka bangku sekolah.” banyak dari kita yang sekolah dari SD hingga lulus di perguruan tinggi dengan gelar sarjana tetapi menjadi pengangguran, tidak tahu mau melakukan apa. Dan anda bisa melihat sendiri berbagai fenomena konyol yang terjadi di negeri ini.
Bagi kita yang sudah menemukan kecenderungan hidup serta sedang menempuh disiplin ilmunya, maka mari kita nikmati segala suka dan duka dalam perjalanan (bersama Tuhan) pulang (kepada Tuhan) ini. bagi yang belum menemukan, temukanlah. Kemudian ta’rifi. apakah aku sudah menemukan diriku? mungkin iya, mungkin tidak. kemungkinan yang paling mungkin, mungkin tidak atau mungkin iya! Hahaha.
ditulis oleh : Muhamad Hafidudin
Di Cibaliung, 19 April 2022