Meneropong Pendidikan Indonesia dengan Sebatang Lisong Rendra

Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka

matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan

aku bertanya
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan

delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya

menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan

dan di langit
para teknokrat berkata:

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

gunung gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidakadilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian

bunga bunga bangsa tahun depan
berkunang kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra

kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing
diktat diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa-desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata

inilah sajakku
pamflet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan

apalah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan

ITB Bandung – Potret Pembangunan Dalam Puisi, 1977

 

Oleh: Muhamad Hafidudin

Membaca “Sajak Sebatang Lisong” adalah membaca bagian kecil dari W.S. Rendra, penyair besar yang kiprahnya melintasi sekat-sekat dunia seni dan kesusastraan. karya-karyanya yang futuristis, masih relevan untuk dihubungkan dengan situasi kita hari ini, termasuk “Sajak Sebatang Lisong” yang ditulis 1977 itu, membentangkan dilema pendidikan Indonesia, yang relevan hingga saat ini. Saya mengidentifikasi setidaknya ada lima poin permasalahan pendidikan Indonesia dalam teropong sebatang lisong Rendra.

Pertama, ketidakmerataan pendidikan. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak/ tanpa pendidikan//, demikian pada bait kedua, yang mengisyaratkan bahwa pendidikan saat “Sajak Sebatang Lisong” ditulis, sangat tidak merata. Tidak jauh berbeda dengan saat ini, berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, anak tidak sekolah (ATS) berjumlah 4,08 juta (BPS, 2020).

Kalang Kabutan anak-anak Indonesia dalam dilema, yang sedari dini tidak mendapatkan pendidikan formal, bahkan pendidikan keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari tripusat pendidikan pun nyaris tidak mereka dapatkan. Delapan juta kanak-kanak/ menghadapi satu jalan Panjang/ tanpa pilihan/ tanpa pepohonan/ tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan ujungnya//, demikian pada bait keempat.

Ketidakmerataan pendidikan itu salah satunya disebabkan oleh mahalnya “ongkos” pendidikan. Sementara penduduk miskin di Indonesia pada September 2022 mencapai 26,36 juta jiwa (BPS, 2022). Kita dapati berbagai berita atau barangkali “merasakan” bagaimana seorang guru yang harusnya menjadi teladan kebaikan bagi muridnya, malah mengeksploitasi uang wali murid dengan beragam cara. Ini lembaga pendidikan atau lembaga dagang?

Kedua, pendidikan non-kontekstual. Seringkali pada beberapa waktu saat masih SD, SMP, SMA, atau bahkan kuliah, kita mendapat cemoohan dari masyarakat seperti “katanya sekolah, kok gak bisa anu” atau “katanya sekolah, kok kelakuannya kayak gitu”, dan berbagai cemoohan semacamnya. Yang perlu dipahami, bahwa cemoohan itu sebenarnya merujuk pada sistem pendidikan kita yang tidak integral dengan realitas sosial. Para guru menjadi kaku dan terpaku pada materi buku yang non-kontekstual atau jauh dari realitas sosial. Dan papantulis-papantulis para pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan//, demikian pada bait ketiga.

Lalu, pada bait kesepuluh, Rendra menyodorkan semacam “resolusi” bagi kita yang terjebak dalam tempurung sistem pendidikan Indonesia yang cenderung hanya mempelajari rumus-rumus asing dan menjauhkan kita dari realitas sosial. Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/ diktat-diktat hanya boleh memberi metode/ tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan/ kita mesti keluar ke jalan raya/ keluar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata//.

Dalam bait kesepuluh tersebut, Rendra menyerukan kepada kita untuk menjadikan teori-teori “asing” hanya sebagai metode atau tambahan pengetahuan untuk membaca realitas sosial. Para intelektual atau orang terpelajar yang punya beban moral atas penyelesaian berbagai masalah Indonesia, harus terjun ke masyarakat untuk merumuskan realitas sosial yang sebenar-benarnya. Jadi, ilm yang didapat sebisa mungkin integral dengan realitas sosial. Apalah artinya berpikir/ bila terpisah dari masalah kehidupan//, demikian pada bait terakhir.

Ketiga, tabir antara pendidikan, industri, dan masyarakat. Menjelang lulus SLTA, biasanya kita dihadapkan dengan dilema akan kehidupan setelah lulus SLTA, rata-rata pilihannya dua, kuliah atau kerja. Kerja, karena tidak mampu melanjutkan kuliah, dan kuliah, dengan asumsi akan mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Faktanya, kedua pilihan tersebut tidak menjamin kita untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, bahkan tidak menjamin kita diterima kerja.

Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,43 juta jiwa pada Agustus 2022. Sebanyak 7,99% atau sekitar 673,49 ribu penganggur berasal dari lulusan universitas (BPS, 2020). Maka benarlah “Sajak Sebatang Lisong” pada bait kelima, aku melihat sarjana-sarjana menganggur/ berpeluh di jalan raya//. Pengangguran bukan hanya sarjana yang tidak kerja di industri tertentu, atau tidak menjadi pejabat tertentu, tetapi juga sarjana yang tidak mengabdikan ilmunya kepada masyarakat dengan segala permasalahannya itu.

Jumlah pengangguran yang menumpuk tersebut, diakibatkan oleh adanya jarak yang sangat jauh antara pendidikan, industri, dan masyarakat. Apa yang diajarkan di kampus, nyaris tidak ada gunanya ketika menjadi karyawan di industri, tidak ada gunanya juga dalam penyelesaian permasalahan di masyarakat.

Keempat, monopoli elit politik sebagai akar masalah. Yang saya maksudkan sebagai “elit” disini adalah “para cukong” pada bait pertama, dan “teknokrat” pada bait keenam. Rendra, menggunakan majas metafora, dua tiga cukong/ mengangkang berak di atas kepala mereka//, mendeskripsikan arogansi para pemilik modal (cukong) yang seenaknya mengendarai “para teknokrat” untuk kepentingan peribadi dan kroni-kroninya.

Kepentingan dan kegentingan rakyat sama sekali bukan prioritas dari kapitalis birokrat (teknokrat), di tengah semangat juang rakyat Indonesia yang luar biasa dalam bertahan hidup, melestarikan budaya lokal, dan lain sebagainya, para teknokrat malah membuat narasi yang kontradiktif, bahwa bangsa kita adalah malas/ bahwa bangsa mesti dibangun/ mesti di up-grade/ disesuaikan dengan teknologi yang diimpor//, demikian pada bait keenam.

Barangkali narasi itu hanya samaran dari “aku nurut pada cukong”, meskipun tidak gamblang dikatakannya. Wajar saja, barangkali mereka telah “diongkosi” oleh para cukong untuk menjadi pejabat, dan mendapat “persenan” pula setiap ada proyek, sekali lagi, barangkali.

Para cukong dan Kapitalis birokrat, atau meja-meja kekuasaan yang macet/, pada bait ketiga, merupakan akar masalah dari pendidikan Indonesia, karena dari tangan merekalah kebijakan-kebijakan tentang pendidikan yang tidak bijak lahir, kebijakan yang hanya berorientasi kepada kepentingan perut mereka dan kroni-kroninya, dan tentu berorientasi kepada kepentingan tuannya, para cukong.

Kelima, penyair-penyair salon yang tidak empati terhadap pendidikan. Rendra, tanpa segan-segan dalam puisi “Sajak Sebatang Lisong”, menampar para penyair yang hanya sibuk “memanah rembulan” tanpa rasa empati terhadap realitas sosial yang begitu menyedihkan. Aku bertanya/ tetapi pertanyaanku/ membentur jidat penyair-penyair salon/ yang bersajak tentang anggur dan rembulan/ sementara ketidakadilan terjadi disampingnya/ dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan/ termangu-mangu di kaki dewi kesenian//, demikian pada bait terakhir.

Memang ada banyak orientasi dari dunia kepenyairan. Tidak ada kewajiban yang menuntut penyair untuk membicarakan realitas sosial. Tetapi, secara moral, penting bagi penyair, sastrawan, atau seniman untuk membicarakan realitas sosial, agar penikmat karya seni, tidak hanya menikmati karya seni sebagai hiburan, tapi juga sebagai refleksi dan protes.

Penting untuk memahami dan menerapkan Seni “ala” Rendra, yang mendarah daging dengan realitas sosial, seringkali puisinya ia jadikan sebagai alat perlawanan, curhat orang-orang terpinggirkan, dan atau suara-suara alternatif dari nyaring kepalsuan suara kekuasaan, apakah artinya kesenian/ bila terpisah dari derita lingkungan//, demikian pada bait terakhir.

Bagi saya, W.S. Rendra merupakan sosok penting yang perlu dibaca berulang kali, karya-karyanya senantiasa merangsang kita untuk berpikir sekaligus mengasah untuk berempati, termasuk salah satu karyanya, “Sajak Sebatang Lisong”, yang ditulis pada 1977, sebagai refleksi atas realitas pendidikan saat itu yang nyatanya masih relevan hingga kini. Polanya masih sama, bahwa akar dari permasalahan pendidikan Indonesia adalah “para cukong” yang seenaknya ikut campur terhadap kebijakan-kebijakan yang dilanggengkan oleh “teknokrat” yang menciptakan permasalahan pendidikan yang sistemik.

Yogyakarta, 01 Agustus 2023

Muhamad Hafidudin, pengurus pusat KUMAUNG yang terlibat aktif dalam diskusi pendidikan. Selain itu, penulis juga aktif mengkaji sastra di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta.