Mantan Ketua Kumaung Yogyakarta yang Terjebak Romantisme

Edukasi69 Dilihat

Oleh : M. Rouf Didi Sutriadi – Mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pada kesempatan ini, penulis memulai kritik atas tulisan saudara Muhamad Hafidudin (selanjutnya dipanggil Hafid) yang berjudul ‘Organisasi Lebih dari Sekadar Wadah untuk Pengembangan Diri!’  dengan menjelaskan sedikit tentang romantisme. Bila kita mengacu kepada sejarah, maka akan kita temukan bahwa romantisme adalah suatu kelompok yang merindukan ajaran-ajaran kuno yang hilang karena arus modernisme. Mereka menganggap bahwa dunia modern sangat kering dengan rasa humanisme, empati dan peduli terhadap sesama oleh karena itu kalangan romantisme menginginkan agar ajaran-ajaran di masa lalu yang berorientasi pada kemanusiaan dapat kembali diaplikasikan atau didiskusikan kembali di zaman sekarang. Dari sini dapat diartikan, mereka yang berpaham romantisme sangat mengagungkan hal-hal yang berbau kenangan-kenangan di masa lalu yang mereka anggap lebih bijaksana dengan keadaan sekarang. Lebih lanjut, terdapat beberapa pemikiran radikal yang menarik konsep romantisme ini terhadap kemunduran di dunia Islam. Dimana dalam pandangan mereka, umat Islam sekarang terjebak dalam romantisme yaitu terlalu membesar-besarkan atau mengagung-agungkan kan kejayaan Islam di masa lalu sehingga rasa bangga tersebut membuat lupa terhadap fakta sekarang dimana tidak bisa dipungkiri bahwa umat Islam mulai tertinggal.

Demikian juga dengan apa yang terjadi pada organisasi saat ini. Penulis sangat sepakat dengan pandangan saudara Hafid yang mengatakan bahwa organisasi bukan hanya sebatas sebagai wadah untuk pengembangan diri namun lebih dari itu organisasi digunakan sebagai alat untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau juga bisa dijadikan alat pembebasan dari penindasan seperti beberapa prestasi organisasi dan tokoh yang saudara Hafid sebutkan. Namun disini penulis melihat bahwa saudara Hafid sudah terjebak pada apa yang disebut sebagai romantisme, dimana ia terlalu mengagung-agungkan prestasi organisasi zaman dahulu yang pada faktanya sekarang hal itu sudah tidak terjadi. Mungkin bila kita bicara pada tarap anak-anak baru yang baru masuk sebuah organisasi, tentunya kajian ataupun idealisme organisasi yaitu sebagai alat penghapusan atas penindasan sangat dipegang teguh, dikaji, diajarkan dan diingatkan terus menerus bahkan diimplementasikan dalam sebuah program kerja. Tapi mereka yang tahapnya sudah mencapai pusat bahkan cabang, dialektika yang terjadi bukan soal tentang kajian tokoh-tokoh pemikir atau idealisme organisasi, melainkan percakapan tentang kalkulasi dan proyek. 

Berapa banyak mahasiswa sekarang yang menganggap remeh soal kajian-kajian pemikiran, mereka anggap itu semua hanya sebuah pemikiran yang abstrak dan tidak menghasilkan apapun. Padahal percakapan kita hari ini atau berkembangnya bangsa ini, tentang nasionalisme, islamisasi, liberalisme itu lahir dari sebuah kajian kecil atau diskusi kecil di kos Cokroaminoto. Lebih lanjut akhirnya tujuan masuk ke organisasi bukan untuk mengerti tentang dialektika tentang keilmuan dari para pendahulu, tapi justru hanya untuk mencari pamor publik agar mereka terkenal di wilayah kampus. Kemudian perihal organisasi sebagai alat penghapusan penindasan, kita tidak perlu jauh-jauh sebenarnya untuk melihat apakah hal tersebut sudah terealisasi atau belum, tidak perlu menanyakan berapa kali demo ataupun berapa kali bakar ban di jalan, karena menurut penulis hal tersebut kurang fundamental melihat motif seseorang melakukan demo pun beragam dan bisa dikarang dengan mudah agar terlihat heroik atau superior. Hal yang harus kita lakukan cukup menanyakan apakah kamu sudah menjalankan tugasmu sebagai mahasiswa untuk membaca buku setiap hari, tidak usah setiap hari, setiap bulan saja apakah kamu sudah menamatkan satu buku, atau bila tarapnya organisasi masyarakat apakah kamu sudah mengerti tentang pemikiran Karl Marx, Hegel, Habermas dan lain-lainnya, tentang kenapa penindasan di dunia ini terjadi, kenapa selalu ada kontradiksi di segala lini kehidupan, bila belum paham dan mengerti lalu berpijak pada apa mereka bergerak melakukan demo, apakah hanya asumsi saja? Bagi penulis entah itu jurusan apapun membaca buku hukumnya wajib bagi mahasiswa karena karena mahasiswa melihat benar dan salah terhadap suatu lembaga negara atau kebijakannya itu sangat ditentukan dengan perspektif bukan asumsi. Dan perspektif itu didapat dari proses membaca buku. 

Kultur membaca buku dan berdiskusi ini menurut penulis yang sudah hilang, dilupakan dan diremehkan. Mereka anggap implementasi tertinggi dari militansi nya sebagai anggota organisasi adalah demo, demo dan demo, padahal membaca buku juga merupakan bentuk penghapusan penindasan yang paling mudah untuk kita bisa lakukan. Karena Jika kita lebih kritis lagi, perilaku mahasiswa yang jarang membaca bukankah itu bentuk penindasan terhadap orang tua, tentunya bila dinilai dengan intuisi kita maka ini lebih berat dibanding penindasan yang terjadi antara si miskin oleh si kaya, karena si miskin dan si kaya tidak mempunyai hubungan biologis akhirnya rasa empati dan simpati tidak begitu besar. Tapi orang tua terhadap anak memiliki hubungan biologis bahkan terkadang membiayai (lantas mengapa?). Apakah organisasi x sebagai alat untuk menghapus penindasan memperhatikan hal ini?……