Oleh: Muhamad Hafidudin
Pertunjukan kolaborasi musik dan seni lintas disiplin yang syahdu itu bertajuk “Swara Jalawara Hawara”, dipertunjukkan di tengah rindangnya pepohonan dengan suara alam yang asri dan disaksikan oleh penonton yang berseri-seri, tempat itu biasa disebut Kantor Urusan Berkarya. Pertunjukan tersebut merupakan ekspresi kerinduan Rizal Mahfud bersama kolaborator terhadap huma dengan segala kearifan lokalnya yang semakin hari semakin asing.
Setiap kita memang berbeda dalam mengekspresikan kerinduan terhadap sesuatu yang tak berujung temu, tak terkecuali Rizal Mahfud yang rindu terhadap pola pertanian tradisional yang kian tergeser dan nostalgia terhadap suasana panen raya yang kini tak lagi dilakukan di Cibaliung, terlebih sejak kecil, huma adalah tempat bermain yang menyenangkan baginya, hingga rindunya tak tertahan dan tertumpahkan menjadi karya kreatif inovatif: Swara Jalawara Hawara, suara yang ia bersama kolaborator persembahkan untuk padi, ajakan untuk mengenal dan mengenang sumber hirup dan hurip masyarakat sunda.
Pada Sabtu, 21 Januari 2023, sekitar pukul 20.00 WIB, penonton telah bersiap menyambut pertunjukan dengan duduk di kursi bambu yang telah dipersiapkan oleh para personil awak kebun sebelum hari pertunjukan tiba, “Owouwowouwouoo” getaran pita suara salah satu pemain di tengah penonton yang hendak memasuki panggung mengagetkan kami, dari arah lain pemain yang lain juga mengagetkan kami dengan desas-desus semacam do’a, mereka semua memasuki panggung yang asri itu, panggung yang terbuat dari bambu dan kayu yang didapat dari sekitaran panggung, tempat mereka menumpahkan rindu yang tak tertahan itu, Kantor Urusan Berkarya Boeatan Tjibalioeng, Kp. Namprak, Desa Mendung, Kec. Cibaliung, Kab. Pandeglang, Prov. Banten,
Kidung Lutung Kasarung, judul lagu yang tadi mengagetkan kami itu merupakan salah satu dari tiga lagu yang mereka aransemen: Kidung Lutung Kasarung, Adem Ayem, Wawayangan, dengan lagu keempatnya merupakan karya baru yang berjudul Swara Jalawara Hawara. Dalam pertunjukan Kidung Lutung Kasarung, terdapat dua penari bernama Muklis dan Fatma Latansa Indali yang merespon rangsang bunyi dengan lenggak-lenggoknya yang merepresentasikan makna yang terkandung dalam Kidung Lutung Kasarung, penonton sorak-sorai ketika melihat beberapa kejutan dalam pertunjukan pembuka itu.
Tak heran jika pertunjukan itu disambut dengan ramai, Rizal Mahfud memang telah beberapa kali terbukti mahir memikat perhatian penonton dalam mementaskan pertunjukan terutama pertunjukan musik, selain ia merupakan lulusan dari Prodi Angklung dan Musik Bambu ISBI Bandung, ia juga merupakan murid dari maestro calung renteng bernama Abah Kalimi yang mengajarinya tentang betapa pentingnya bunyi dalam tradisi huma, bahkan ia juga belajar tentang warisan tradisi dari masyarakat adat Kanekes dan Kasepuhan Banten Kidul.
Setelah lagu pertama/pembuka yang berjudul “Kidung Lutung Kasarung” selesai, Rizal Mahfud selaku pemangku hajat mengambil alih panggung dengan mengucapkan terimakasih kepada semua yang telah hadir dan mendukung acara itu, selain itu, ia juga memberikan deskripsi singkat tentang karya kreatif inovatifnya “kegiatan ini merupakan karya kreatif inovatif saya, Rizal Mahfud yang didukung oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, dalam kegiatan Dana Indonesia yaitu Dana Abadi Kebudayaan dan juga dari LPDP” ucap pemuda yang lahir dan besar di Cibaliung itu. Kemudian acara dilanjut dengan sambutan Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Banten bapak Bara Hudaya dan sekapur sirih dari Direktorat Perlindungan Kebudayaan bapak Judi Wahjudin yang keduanya menyatakan dukungan terhadap pentas-pentas budaya yang dilakukan oleh Boeatan Tjibalioeng.
Pertunjukan berlanjut ke lagu kedua, penonton menyambut dengan riang gembira, rangsangan bunyi dari lagu berjudul Adem Ayem itu direspon oleh Ifan Hariyadi, sang pujangga tanah jawara yang merupakan kolaborator dalam karya kreatif inovatif Rizal Mahfud: Swara Jalawara Hawara, “atas segala bunyi yang dipersembahkan leluhurku pada semesta, kupersembahkan juga rinduku” sepotong suara yang keluar dari mulut sang pujangga tanah jawara itu menarik perhatian penonton, syair puisi yang dibacakan oleh Ifan Hariyadi dalam merespon lagu Adem Ayem mengisahkan tentang seorang anak muda yang rindu dengan padi yang ditanam di ladang huma. Karena, semenjak peralihan pola pertanian dari huma ke sawah, membuat banyak perubahan dan hilangnya kebiasaan/tradisi yang berkembang di masyarakatnya.
Yang tidak kalah menarik perhatian para penonton juga terdapat pada lagu ketiga yang berjudul Wawayangan, rangsangan bunyi dari lagu Wawayangan itu direspon oleh Mumu Zainal Mutaqin, praktisi pertunjukan drama tanpa kata yang merupakan kolaborator dalam karya kreatif inovatif Rizal Mahfud: Swara Jalawara Hawara, baginya bermain pantomim adalah sebuah pengabdian pada alam semesta, ia terlihat sangat ekspresif dalam merespon rangsangan bunyi dari lagu Wawayangan, drama tanpa kata atau pantomim yang ia persembahkan itu menggambarkan tentang kritik sosial, hilangnya rasa empati, krisis kepercayaan, dan rasa takut. Menceritakan bagaimana seorang manusia yang tergoda oleh keadaan yang terjadi, yang diketahuinya telah melewati batas adat istiadat yang ada. Kemudian ia mencoba untuk berpura-pura apatis dengan keadaan tersebut, tapi justru membuatnya putus asa dan merasa seperti sedang membohongi hati nuraninya.
Hingga tibalah kita di lagu pemungkas, lagu baru yang Rizal Mahfud bersama kolaborator persembahkan untuk padi, lagu itu direspon langsung oleh empat kolaborator: Muklis dan Fatma Latansa Indrali dengan tarinya, Mumu Zainal Mutaqin dengan pantomimnya, dan Ifan Hariyadi dengan pembacaan syair puisinya. Gema bunyi yang syahdu dan lenggak lenggok yang ekspresif dari Swara Jalawara Hawara juga merangsang para penonton untuk turut merespon karya yang megah itu hingga penonton ikut bernyanyi, menyalakan senter gawai mereka dan melambaikan tangan hingga lagu selesai dengan ditutup sorak-sorai suara penonton.
Alat musik yang digunakan dalam pertunjukan keempat lagu tersebut merupakan alat musik tradisional atau bunyi-bunyian yang murni lahir dari tradisi huma yang terdiri dari calung renteng, angklung buhun, kecapi buhun, suling kumbang, karinding, gong lodong, sampai omprang dan lesung yang dipertemukan dengan musik dunia yang terdiri dari piano, bass, dan drum.
Saya tidak mengerti seni sehingga tidak memiliki cukup keilmuan untuk mengatakan bahwa keempat pementasan itu memiliki nilai estetika yang tinggi misalnya, akan tetapi saya dapat memahami bahwa setiap bunyi dan gerak dari keempat pertunjukan itu mengandung pesan mendalam yang sangat baik jika ditransformasikan menjadi sebuah sikap dan atau perilaku.
Berikut Tim Produksi Swara Jalawara Hawara :
Komposer dan Aranser Rizal Mahfud, Adian Putra, Fariz Alwan, Parwa Rahayu, Vokal Ika Jamilatul, Calung Renteng Ikdal Priatna, Hani Pratiwi, Aldi Purwanto, Piano Adrian Putra Perkusi Yuda Abdul Aziz, Bass A Dandi F. Pantomim Mumu Zainal Mutaqin, Penari Muklis, Fatma Latansa, Monolog Ifan Hariyadi Kidung Barsah.
Manajemen Produksi Nanda Ghaida, Tirta Nugraha Pratama, Dramaturgi Zanuar Eko Rahayu, Penata Cahaya Yopi Hendrawan, Penata Suara M Aminudin, Penata Artistik ArtGo-ong, Raden Esa, Penata Kostum Ine Kurniati, Visual RM Picture Perekam Audio Lutfi Suwandi, Media dan Publikasi Tiara Dwi, Design dan Ilustrasi Evantar, Djoni Cobra, Gebar Sosmita, Pawang Hujan Asmir, Kru Boeatan Tjibalioeng, Codet, Ami.