Analisa Sederhana Perjuangan dan Hambatan Berorganisasi

Edukasi, Ruang Opini71 Dilihat

Terbangun sekira pukul sebelas malam, tidur lebih awal karena badan meminta istirahat lebih awal, lelah badan yang kata sebagian orang juga lelah pikiran, semoga bukan psikosomatis.

Semakin tua semakin banyak pikiran, melihat berbagai hal yang terjadi tidak perlu menyaksikan secara langsung, berselancar melalui media sosial, menyusuri setiap status WA di kontak gaway juga akan membawa kita pada satu kesimpulan. Kita sedang tidak baik-baik saja, sebagian membaik, ada yang memburuk, terpuruk, perselisihan, keluhan dll.

Status-status motivasi juga bermunculan. Suasana malam
Saya teringat suatu malam ada perbincangan kecil di rumah pohon depan rumah, berbicara mulai dari hal sederhana sampai bicara tentang keluh kesah yang sama pada lesunya gerakan mahasiswa.

Secara pribadi saya tidak bisa membandingkan gerakan dan kesadaran gerakan yang tumbuh pada mahasiswa beberapa tahun yang lalu.

Diskusi-diskusi kecil yang mengakar dan menjadi kemudi bersama dalam bersikap. Sekarang masalahnya berbeda.

Tulisan ini saya tulis menjelang pleno tengah kepengurusan Kumaung Pusat yang tentu saja ini adalah rentetan dari obrolan-obrolan kecil dengan topik yang sama, berkurangnya kesadaran berorganisasi dikalangan mahasiswa.

Melalui tulisan ini, saya hanya akan memberikan analisis sederhana dan saran sederhana tentang fenomena yang terjadi.

Pertama, pengaruh pandemi covid 19, mahasiswa hampir 4 semester berkutat dengan dunia maya, terbatas dan persis sibuk dengan tugas-tugas kuliah. Kesadaran kolektif tidak terbangun. Mungkin nanti, seiring seringnya obrolan-obrolan keorganisasian dibangun maka kesadaran kolektif tentang pentingnya berorganisasi akan tumbuh kembali.

Kedua adalah sistem pendidikan yang berorientasi pada nilai dan angka-angka, keberhasilan dinilai dari isi kepala dan cenderung kurang memperhatikan kualitas hati (karakter) meskipun tidak menampik rancangan kurkulum yang dibangun pemerintah sudah berbicara tentang karakter. Isi hati yang diimplementasikan dalam perbuatan. Pikiran kita diarahkan pada keberhasilan pribadi dalam pencapaian material dan angka-angka raport yang hanya berisi hafalan-hafalan yang belum sempat dipraktikan.

Ketiga, sistem pendidikan di keluarga yang berorientasi selalu pada kesuksesan yang berorientasi pada banyaknya uang. Sehingga lagi-lagi menyebabkan timbulnya individualisme, fokus hanya satu pada tujuan, lulus dengan sempurna dan kerja.

Ke empat, kalau menuding pihak lain terlibat juga mungkin dalam masalan ini, tapi rasanya tiga masalah di atas sudah sangat mampu menjadikan rendahnya ketahanan mahasiswa dalam organisasi gerakan, kecuali organisasinya memang sudah mampu memberikan peluang berbeda tetapi tetap fokus pada gerakan, dan kontrol sosial.

Solusi solusi, saya akan menawarkan solusi, semoga bisa menjadi solusi, pertama untuk memutus rantai konsep pendidikan yang tidak didekatkan pada pembacaan sosial, atau kata Rendra

“Dan papan tulis – papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan”

Maka peran yang hilang itu harus digantikan oleh komunitas yang juga memberikan peran untuk memberikan pemahaman kepada siswa usia SLTA pada peran dan fungsi pemuda dan mahasiswa.

Yang kedua, alih wahana penyadaran dan perjuangan pada media online. Hari ini anak-anak muda dan semua orang hampir menghabiskan waktunya melalui media sosial dan internet.

Terus bagaiamana dengan keadaan sekarang, yang kadung tidak ada orangnya, maka jangan tunggu lebih banyak, manfaatkan berapapun yang mau terlibat, terstruktur.

Kemudian terakhir, buatlah kemandirian ekonomi di organisasi, betapapun susahnya, ada orang yang satu orang memiliki omset jutaan rupiah, maka komunal dalam organisasi pasti akan bisa, selama ada orang yang ikhlas didalamnya.

Maka membangun kesadaran adalah sebuah keharusan, kesadaran menciptakan keikhlasan, keduanya akan membangun gerakan.

Penulis : Munawir Syahidi